Kamis, 25 November 2010

Brave Women in Islam (jihad Nasheed) - Video

PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN!!

Bismillah...



Assalamu'alaikum...





Pertama Mengingkari rububiyah atau salah satu kekhususannya atau mendakwakan diri memilikinya atau membenarkan orang yang mendakwakannya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka (orang-orang kafir) berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. al-Jatsiyah : 24)





Kedua Menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “al Masih [Nabi Isa] sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, Maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, Maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah.” (QS. an-Nisaa’ : 172-173)





Ketiga Mengangkat perantara dan pemberi syafaat yang dijadikan sasaran doa dan pemujaan selain Allah ta’ala

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).” (QS. Yunus : 18)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (QS. ar-Ra’d : 14)





Keempat Menentang sesuatu yang telah jelas-jelas ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya untuk menjelaskan tentang sifat-sifat-Nya, atau meyakini makhluk ada yang memiliki sifat-sifat kekhususan Allah seperti mengetahui perkara gaib. Demikian pula orang yang justru menetapkan sesuatu yang jelas-jelas ditolak Allah atau Rasul-Nya ketika menceritakan tentang sifat-sifat-Nya, seperti mengatakan bahwa Allah memiliki anak atau orang tua.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlash : 1-4)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. al-A’raaf : 180)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam : 65)





Kelima Mendustakan suatu ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika mereka mendustakan kamu, Maka Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian aku azab orang-orang yang kafir; Maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” (QS. Faathir :25-26)





Keenam Meyakini ketidaksempurnaan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menentang hukum syari’at yang diturunkan Allah kepada dirinya, meyakini bahwa hukum selain yang ditetapkan Nabi sebagai hukum yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih lengkap dalam memenuhi kebutuhan umat manusia, atau meyakini hukum Allah dengan hukum dari selain Allah itu sama baiknya, atau meyakini baiknya hukum Allah akan tetapi membolehkan berhukum sengan selain hukum Allah.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. an-Nisaa’ : 60)





Ketujuh Tidak meyakini kafirnya orang-orang musyrik atau meragukan kekafiran mereka karena keraguan semacam ini sama halnya dengan meragukan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang Rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata : “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan Sesungguhnya Kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadaNya.” (QS. Ibrahim : 9)





Kedelapan Melakukan penghinaan atau mengolok-olok al-Qur’an, agama, pahala atau siksa dan sebagainya, atau menghina salah satu Nabi, baik hal itu dilakukan dengan main-main atau serius.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. at-Taubah : 65-66)





Kesembilan Membantu dan menolong orang-orang musyrik dalam memerangi kaum muslimin.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. al-Maa’idah : 51)





Kesepuluh Meyakini ada sebagian orang yang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana halnya kasus Khidir bersama Nabi Musa ‘alaihimassalaam.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Maa’idah : 3)





Kesebelas Berpaling meninggalkan ajaran-ajaran agama Allah, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. as-Sajdah : 22)

Ini merupakan beberapa pembatal keislaman, sedangkan di sana masih terdapat berbagai macam pembatal yang lainnya yang secara umum bisa dipulangkan pada sebagian diantara pembatal yang sudah disebutkan di sini, seperti contohnya ; sihir, menentang ayat Qur’an, meragukan mukjizatnya, menghalalkan sesuatu yang telah disepakati haramnya seperti menghalalkan zina atau meminum khamr, mencaci maki agama, kita berlindung kepada Allah dari kesesatan. Wallahu a’lam. (diambil dari Kitabut Tauhid li Shaffits Tsani ‘Ali, hal. 19-22)



Diposting ulang dari www.abumushlih.com

Cara Mudah Mempelajari Aqidah Ahlus Sunnah

Bismillah



Assalamu'alaikum...



Bab 1. Pengantar Aqidah Ahlus Sunnah

Bab ini mencakup tujuh pembahasan:

1. Makna Aqidah
2. Urgensi Aqidah
3. Makna as-Sunnah
4. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
5. Nama Lain Ahlus Sunnah wal Jama’ah
6. Makna Salaf
7. Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf



[1] Makna Aqidah

Secara bahasa aqidah berarti mengikatkan sesuatu. Kalau dikatakan bahwa seseorang meng-i’tiqadkan sesuatu maka itu maknanya dia telah mengikatkan keyakinan itu di dalam hatinya. Yang dimaksud dengan istilah aqidah adalah segala sesuatu yang menjadi ideologi bagi seseorang. Aqidah adalah amalan hati yang berupa keimanan di dalam hati terhadap sesuatu dan pembenaran/tashdiq tentangnya. Pokok-pokok aqidah Islam biasa dikenal dengan istilah rukun Islam, yaitu mencakup: iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9).



[2] Urgensi Aqidah

Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan betapa penting kedudukan aqidah:

1. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110). Ayat ini menunjukkan bahwa aqidah yang benar merupakan asas tegaknya agama dan syarat diterimanya amalan (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 9). Hal ini semakin jelas dengan ayat berikut ini…
2. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu, seandainya kamu berbuat syirik niscaya akan lenyap seluruh amalmu dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65)
3. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Ayat ini menunjukkan bahwa fokus dakwah para rasul yang paling utama adalah untuk memperbaiki aqidah; agar umat menyembah Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 10). Hal ini semakin jelas dengan ayat berikut ini…
4. Allah ta’ala berfirman mengenai seruan para rasul kepada kaumnya (yang artinya), “Sembahlah Allah saja, tidak ada bagi kalian satupun sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 59,65,73,85). Ucapan ini dikatakan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan segenap nabi ‘alaihimush sholatu was salam kepada kaumnya (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 10).



[3] Makna as-Sunnah

Secara bahasa as-Sunnah bermakna jalan atau perjalanan. Menurut istilah ahli hadits Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau sifat perilaku baik hal itu terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi ataupun sesudahnya. Menurut istilah ahli ushul Sunnah adalah hukum yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak disebutkan secara tegas di dalam al-Qur’an, baik hal itu merupakan penjelas ayat ataupun bukan. Adapun menurut ulama fikih maka Sunnah diartikan sebagai perkara yang bukan wajib, yaitu apabila dikerjakan berpahala dan kalau ditinggalkan tidak berdosa. Namun yang dimaksud dengan istilah Sunnah oleh para ulama salaf adalah lebih luas cakupannya daripada itu semua. Menurut mereka Sunnah itu adalah: kesesuaian dengan al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta pemahaman para sahabatnya, baik hal itu mencakup perkara aqidah maupun perkara ibadah. Lawan dari istilah Sunnah itu adalah bid’ah (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 25-26).







[4] Makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah dikenal oleh para sahabat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir firman Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- maka akan memutih berseri wajah-wajah dan akan menghitam legam wajah-wajah yang lain.” (QS. Ali Imran: 106). Ibnu Abbas berkata, “Yaitu akan memutih wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan akan menghitam legam wajah Ahlul Bid’ah wal Furqah.” (Tafsir Ibnu Katsir [1/390] sebagaimana dinukil dalam Mu’taqad Ahlus Sunnah, hal. 63)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah itu adalah: “Orang-orang yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta segala sesuatu yang telah disepakati oleh para pendahulu yang pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (Majmu’ Fatawa [2/375] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 32).



[5] Nama lain Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Para ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan nama yang beraneka ragam, di antaranya adalah:

1. Ahlul Hadits; penamaan ini dapat kita temukan dalam kitab-kitab aqidah salaf semacam karya Ibnu Taimiyah, ash-Shabuni dan lain-lain. Yang mereka maksud dengan ahlul hadits adalah Ahlus Sunnah itu sendiri. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kami tidaklah memaksudkan bahwa yang disebut ahli hadits itu adalah sekedar orang-orang yang rajin mendengarkannya, menulisnya, atau meriwayatkannya. Akan tetapi yang kami maksud ahlul hadits itu adalah semua orang yang lebih berhak -mendapatkan julukan itu- karena penjagaan mereka terhadapnya, pemahaman mereka tentangnya secara lahir dan batin serta berupaya untuk terus mengikutinya secara batin dan lahir, demikian pula yang kami maksud dengan ahlul qur’an.” (Majmu’ Fatawa [4/95] sebagaimana dinukil dari Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 33)
2. al-Atsariyah atau Ahlul Atsar. Sebagaimana ucapan Ibnu Abi Hatim ar-Razi yang sangat terkenal, beliau rahimahullah berkata, “Salah satu karakter ahlul bid’ah adalah suka mencela ahlul atsar.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah [1/179] sebagaimana dinukil dari Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 33)
3. al-Firqah an-Najiyah. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits perpecahan umat, “Semua golongan itu di neraka kecuali satu.” Dan satu golongan/firqah yang selamat itu dijelaskan dalam hadits Abdullah bin Amr bin al-’Ash sebagai, “Orang-orang yang beragama sebagaimana aku dan para sahabatku.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, sahih. Lihat hadits-hadits tentang hal ini dalam Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi karya Syaikh Salim al-Hilali, hal. 39-40, lihat juga Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 20 dan 34)
4. ath-Tha’ifah al-Manshurah. Penamaan ini diambil dari kandungan hadits tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Akan senantiasa ada sekelompok orang di antara umatku yang menang -di atas kebenaran- sampai datang kepada mereka ketetapan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan menang.” (Muttafaq ‘alaih). Dan sungguh telah salah orang yang membedakan antara ath-Tha’ifah al-Manshurah dengan al-Firqah an-Najiyah (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 35, lihat juga Limadza Ikhtartu al-manhaj as-Salafi, hal. 40-42). Bahkan, Syaikh Salim al-Hilali mengatakan, “Secara keseluruhan, maka hadits-hadits mengenai ath-Tha’ifah al-Manshurah adalah mencapai derajat mutawatir, sebagaimana telah ditegaskan oleh sekelompok ulama, di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathil Mustaqim [hal. 6], as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah [93] dan guru kami al-Albani -semoga Allah menjaganya- dalam Sholat Iedain [hal. 39-40] dan para ulama yang lain.” (Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 42)
5. as-Salafiyah atau as-Salafiyun. Yaitu penyandaran kepada kaum salaf -akan dijelaskan siapa yang dimaksud dengan istilah salaf- (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 35). Apabila ditinjau dari sisi bahasa, istilah salaf itu dapat disimpulkan sebagai istilah yang mewakili sekelompok orang yang terdahulu dalam hal ilmu, keimanan, keutamaan, atau kebaikan/jasa (lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 30)



[6] Makna Salaf

Sebagaimana sudah disinggung di muka bahwa secara bahasa kata salaf itu menunjukkan kepada orang-orang yang terdahulu atau yang mendahului. Seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah, “Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salaf/pendahulu bagimu.” (HR. Muslim) (lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 30).

Adapun secara istilah, para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam memaknai istilah salaf:

1. Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud salaf itu adalah para sahabat saja
2. Sebagian lagi berpendapat bahwa salaf itu mencakup sahabat dan tabi’in (murid para sahabat)
3. Sebagian lagi berpandangan bahwa salaf itu mencakup sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in) (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 36 dan Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa Shifat, hal. 54).

Pendapat yang populer yang dipegang oleh mayoritas ulama ahlus Sunnah adalah memaknakan istilah salaf dengan tiga generasi utama yang telah dipersaksikan kebaikannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Sebaik-baik generasi adalah di masaku, kemudian sesudahnya, dan kemudian yang berikutnya.” (Muttafaq ‘alaih). Istilah salaf ini kemudian lebih dikenal dengan ungkapan salafus shalih (pendahulu yang baik). Sehingga salafus shalih itu mencakup; para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Dan semua orang yang meniti jalan mereka -dalam beragama- dan mengikuti manhaj/metode beragama mereka disebut sebagai salafi sebagai bentuk penyandaran/penisbatan kepada mereka (lihat Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa Shifat, hal. 54).

Dengan demikian, menisbatkan diri sebagai salafi bukanlah tergolong perbuatan bid’ah. Sebab istilah salaf itu sama artinya dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Para sahabat itu adalah salaf, sementara mereka jugalah orang-orang yang pertama kali layak untuk disebut sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Sebagaimana tidak salah apabila kita menyebut Sunni sebagai penisbatan kepada Ahlus Sunnah, maka demikian pula tidak ada salahnya apabila kita menyebut Salafi sebagai penisbatan kepada generasi salaf (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 38)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak tercela sama sekali atas orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri kepadanya serta merasa mulia dengannya, bahkan wajib menerima pernyataan itu darinya, karena sesungguhnya madzhab salaf itu tidak lain dan tidak bukan adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 42)





[7] Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf

Berikut ini sebagian dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti manhaj salaf -secara umum- terlebih lagi dalam perkara aqidah, karena sebagaimana sudah disinggung di depan bahwa aqidah merupakan asas tegaknya agama dan syarat diterimanya amalan (lihat sebuah faedah yang sangat indah yang disebutkan oleh Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali dalam kitabnya Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 27).

Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

1. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti akan ridha kepada-Nya. Allah persiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
2. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya, dan Kami akan memasukkan mereka ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)
3. Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15). Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap para sahabat adalah orang yang munib/kembali kepada Allah, oleh sebab itu wajib mengikuti jalannya…” (I’lam al-Muwaqqi’in [4/120] sebagaimana dinukil dalam Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 37)
4. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku, kemudian sesudahnya, dan kemudian generasi yang berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Prof. Dr. Muhammad Khalifah at-Tamimi berkata, “Predikat baik yang dipersaksikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terhadap tiga generasi utama menunjukkan keutamaan mereka dan keterdahuluan mereka serta kemuliaan kedudukan mereka dan keluasan ilmu mereka terhadap syari’at Allah dan betapa kuatnya komitmen mereka dalam berpegang teguh dengan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (Mu’taqad Ahlus Sunnah, hal. 57)
5. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yahudi berpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, Nasrani berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, sedangkan umat ini -umat Islam- akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya terancam neraka kecuali satu.” Ada yang bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang berpegang dengan pemahamanku dan para sahabatku pada hari ini.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dihasankan Syaikh Salim al-Hilali lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 39).
6. Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang yang masih hidup sepeninggalku akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya …” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad, sahih. Lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 39). Syaikh Salim al-Hilali menyimpulkan keterangan para ulama tentang makna Sunnah Khulafa’ur Rasyidin, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin tidak lain adalah pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum…”. Hal itu sebagaimana telah diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam teks hadits yang lain mengenai golongan yang selamat, “Orang-orang yang mengikuti pemahamanku dan pemahaman para sahabatku pada hari ini.” (Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi, hal. 75)





Wallohu a'lam...

Men-TAUHID kan Allah Dalam Setiap Ibadah..

Assalamu'alaikum..



bismillah....





Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –rohimahullah- mengatakan,“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutus para rasulNya –‘alaihimush sholatu was salaam-, telah menurunkan kitab-kitabNya, telah menciptakan langit dan bumi agar (mahluknya) mengenal Allah, menyembahNya, mentauhidkanNya, menjadikan semua peribadatan mereka hanya kepada Allah, agar mereka hanya memberikan keta’atannya kepada Allah dan berdo’a hanya kepadaNya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh[1] manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu[2]“.

(QS : Adz Dzariyat [51] :56).



Demikian pula firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ

“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya kecuali dengan Haq[3]“

(QS : Al Hijr [39] :85).



Demikian juga dalam firman Allah Ta’ala

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

(QS : Ath Tholaaq [65] :12).

Firman Allah Ta’ala,

جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذَلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

(QS : Al Maidah [5] :97).





Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa sesungguhnya maksud dari penciptaan mahluk dan perkara yang diinginkan dari adanya mereka adalah agar mereka mengenal Allah dengan nama-namaNya yang mulia dan shifat-shifatNya. Demikian juga agar mereka hanya menyembah/beribadah hanya kepada Allah semata dengan tidak menyekutukanNya dan agar manusia menegakkan keadilan yang mana Allah adalah Dzat yang Maha Adil yang dengan shifat adilnya tersebut tegaklah langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami[4] dengan membawa bukti-bukti yang nyata[5] dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan mizaan[6] supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.

(QS : Al Hadiid [57] :25).

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya maksud dari diutusnya para rasul, dan diturunkannya kitab-kitab agar tegak keadilan dimana seagung-agung keadilan adalah tauhid yang dia adalah penghulu keadilan dan penegakan keadilan. Demikian juga (sebaliknya) kesyirikan adalah kedholiman, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedholiman yang paling besar“.

(QS : Luqman [31] : 13).



Kesyirikan adalah bentuk kedholiman yang paling besar dan tauhid adalah keadilan yang paling adil maka semua hal yang merupakan pengingkaran terhadap maksud dan tujuan dari hal di atas[7] merupakan dosa besar yang paling besar dan perbedaan derajat besar dosanya sesuai dengan pengingkaran terhadapnya. Demikian juga semua hal yang bersesuaian dengan tujuan ini merupakan kewajiban yang paling wajib dan bagian dari keta’atan-keta’atan.



Maka renungkanlah prinsip ini dan penjabarannya dengan sebaik-baik perenungan niscaya dengannya engkau akan pahami hikmah dari Dzat yang Maha Hikmah, Dzat yang Maha Luas IlmuNya terhadap perkara yang Dia wajibkan kepada para hambanya dan Dia haramkan bagi mereka serta beragamnya tingkat keta’atan-keta’atan dan kemaksiatan-kemaksiatan.





Kesyirikan kepada Allah merupakan sebuah pengingkaran yang nyata terhadap tujuan di atas maka jadilah hal tersebut (kesyirkan) merupakan dosa yang paling besar secara mutlak, Allah haramkan bagi pelakunya surga, Allah halalkan darah, harta dan keluarga pelakunya bagi orang-orang yang bertauhid dengan Allah jadikan pelaku kesyirikan sebagai budak orang-orang yang bertauhid disebabkan mereka meninggalkan penghambaan kepadaNya. Demikian juga Allah mengabaikan mereka dengan tidak Allah terima amal baik mareka, (tidak Allah berikan seseorang untuk memberikan, pent.) syafa’at kepada mereka, dan tidak Allah kabulkan do’a mereka pada hari akhirat nanti bahkan kesalahan kecil merekapun tidak Allah ampuni. Sesungguhnya orang musyrik adalah sebodoh-bodoh orang yang bodoh karena mereka manjadikan tandingan/sekutu bagi Allah dan hal itu merupakan puncak dari kebodohan sebagaimana ia adalah puncak dari kedholiman yang mana orang musyrik (dengan kesyirikannya) tidaklah mampu mendholimi Allah bahkan kesyirikan itu merupakan kedholiman bagi diri mereka sendiri?!! Maka akal manakah yang bisa menerima kedholiman pada diri sendiri…??!!

Allahul Musta’aan, wa Allahu A’lam.





Mudah-mudahan tulisan ini bermanfa’at bagi kami dan pembaca sekalian.

Diterjemahkan dengan penambahan dan perubahan gaya bahasa dari kitab Ad Da’u wad Dawa’u lil Imaam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah –Rohimahullah- dengan tahqiq Fadhilatusy Syaikh ‘Ali bin Hasan bin Abdil Hamiid Al Halabiy hafidzahullah hal. 183-184 cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA oleh Al Faaqir ilaa Maghfiroti Robbih Abu Haalim Budi As Sijambali.



[1] Kami terjemahkan dengan kata seluruh karena sebagaimana dalam kaidah Tafsir Al Qur’an “Huruf Alif dan Lam yang masuk pada isim sifat, isim jenis, memberikan faidah keumuman sesuai kata yang dimasukinya”. Lihat Al Qowaidul Hissaan Al Muta’aliqotul bi Tasiril Qur’an oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rohimahullah hal. 19-22 cetakan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh, KSA atau terjemahan dari saya untuk kitab ini, mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla mudahkan kami untuk menyelesaikannya.

[2] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahaab Rohimahullah mengatakan dalam Tsalatsatul Ushul beribadah kepadaKu maksudnya mentauhidkanKu. [lihat Hushulul Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul hal. 46-47 cetakan Maktabah Ar Rusyd, Riyadh, KSA].

[3] Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rohimahullah mengatakan, “maksudnya dengan haq yang menjadikan sesuatu yang berada diantaranya (langit dan bumi) sebagai dua dalil yang menunjukkan sempurnanya kedua ciptaanNya (langit dan bumi), ketentuanNya, keluasan rahmatNya dan hikmahNya, ilmuNya yang luas dan sesungguhnya tidaklah pantas ibadah (ditujukan) kecuali hanya kepadaNya yang tiada sekutu bagiNya”. [Lihat Taisir Karimir Rohman oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rohimahullah hal. 409 cetakan Dar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon.]

[4] Dikatakan oleh Penulis Tafsir Jalalain –rohimahumallah-yang dimaksud dengan أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا adalah para malaikat yang Kami utus kepada para Nabi. [Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrohman Al Mubarokfuri hafidzahullah hal. 312 cet. Darus Salam, Riyadh, KSA.]

[5] Maksudnya hujjah hujjah yang jelas dan nyata. [sumber idem.]

[6] Maksudnya keadilan. [sumber idem.]

[7] Yaitu adalah maksud dari diutusnya para rasul, dan diturunkannya kitab-kitab agar tegal keadilan dimana seagung-agung keadilan adalah tauhid yang dia adalah penghulu keadilan dan penegakan keadilan.



Wallohu A'lam.



Izzah Islam wal Muslimuun

Ilmu dunia atau Ilmu akhirat??

Assalamu'alaikum...



Bismillah..



Ilmu dalam Al Qur’an, Hadits dan Para Ulama

Ilmu merupakan sebuah hal yang sangat berharga bagi setiap orang. Demikian juga halnya dalam agama yang mulia ini ilmu memiliki kedudukan yang amat tinggi, dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”.

(QS : Al Mujadalah [58] :11).

Demikian juga dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham melainkan mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang besar”[1].

Demikian juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi was sallam,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan padanya seluruh[2] kebaikan maka Allah akan jadikan ia faham terhadap urusan agamanya”[3].

Demikian juga di mata para ulama, ilmu memiliki kedudukan yang istimewa diantaranya adalah bagi syaikhnya para ahli hadits, Imam Bukhoriy rohimahullah, hal ini terbukti karena beliau rohimahullah membuat satu kitab dalam kitab shohihnya yang berjudul Kitabul ‘Ilmi yang beliau letakkan setelah Kitabul Iman[4]. Demikian juga ulama yang lainnya. Akan tetapi apakah kita telah tahu apakah ilmu yang Allah ‘Azza wa Jalla dan NabiNya shollallahu ‘alaihi was sallam katakan ??!! Oleh karena itu marilah kita pelajari barang sejenak. Karena terkadang orang sering salah paham menggunakan dalil-dalil berupa Al Qur’an dan Sunnah dalam masalah keutamaan ilmu.



Pengertian Ilmu dalam Dalil-Dalil Al Qur’an dan Sunnah

Kebanyakan orang terutama mereka yang hidup di lingkungan akademik perkuliahan ilmu umum memiliki anggapan bahwa ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala puji pemiliknya dengan Allah ‘azza wa jalla naikkan derajat mereka beberapa derajat termasuk di dalamnya adalah ilmu-ilmu umum. Padahal tidakah demikian, ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala maksudkan adalah ilmu agama, ilmu syar’i. Hal ini berdalilkan kejadian yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ « لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ ». قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ « مَا لِنَخْلِكُمْ ». قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ « أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ ».

Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam melalui beberapa orang yang sedang melakukan penyerbukan kurma, beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kalaulah kalian tidak melakukan hal yang demikian maka hasilnya akan baik”. (Para sahabat mengikuti perkataan beliau) kemudian hasil kurmnya jelek. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melalui mereka lagi dan berktanya, “Mana kurma kalian?” mereka mengatakan, “Engkau katakan demikian dan demikian (agar tidak menyerbukan kurma)”[5]. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kalian lebih paham berilmu tentang urusan dunia kalian”[6].

Ahli Fiqih Zaman ini, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan barkaitan dengan hadits di atas, “Seandainya ilmu semisal ilmu di atas yang Allah ‘azza wa jalla memuji orangnya maka sudah pastilah Allah jadikan beliau sebagai orang yang paling tahu tentang ilmu tersebut karena orang yang paling banyak Allah puji ilmu dan amalnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam”[7]. Akan tetapi kita lihat bersama dalam hadits di atas tegas menunjukkan bahwa beliau bukanlah orang yang mengetahui ilmu masalah penyerbukan kurma di atas (baca : ilmu dunia) sehingga jelaslah ilmu yang Allah janjikan akan ditinggikan derajat pemiliknya adalah ilmu syar’i/ilmu agama islam dan bukan sama sekali ilmu dunia.





Kedudukan Ilmu Dunia

Ilmu dunia adalah suatu yang nyata adanya di hidup dan kehidupan kita, hal ini merupakan suatu hal yang diperlukan untuk menjalani hidup karena manusia membutuhkan dunia dan mereka hidup di dunia. Oleh karena itulah ilmu dunia merupakan suatu hal yang tidak kita ingkari, terlebih lagi karena islam adalah agama yang nyata dan tidak mengingkari adanya realita. Namun sekali lagi kami katakan bahwa kami tidaklah meniadakan manfaat/faidah dari ilmu dunia sama sekali namun faidah/manfaat yang ada pada ilmu dunia adalah faidah/manfaat yang bersifat terbatas. Batasan tersebut adalah jika ilmu tersebut digunakan untuk menolong agama Allah dan membantu hamba-hambaNya untuk melaksanakan keta’atan kepada Allah maka ilmu tersebut adalah ilmu yang memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan. Bahkan terkadang dalam waktu tertentu hukum menuntutnya bisa menjadi wajib jika hal itu masuk dalam apa yang Allah firmankan,

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu (yaitu orang-orang kafir Mekah[8])dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya (semisal orang munafik, yahudi[9]) sedang Allah mengetahuinya”.

(QS : Al Anfal [8] :60).[10]

Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah mengatakan, ”Yang dimaksud dengan (مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ) adalah semua hal yang kalian mampu bail itu berupa kekuatan yang bersifat akal pikiran (non fisik pent.), fisik serta persenjataan dan lain sebagainya berupa hal-hal yang dapat membantu untuk memerangi mereka. Maka termasuk dalam hal tersebut bidang perindustrian peralatan perang berupa artileri, senapan mesin, peluru, pesawat, armada darat dan laut, benteng pertahanan, pesawat perang. Demikian juga strategi yang membuat kaum muslimin terdepan dan mampu mencegah keburukan yang diberikan lawan-lawan mereka, mempelajari cara-cara menembak, meningkatkan keberanian dan semangat dan perencanaan”[11]. Dengan demikian bukanlah seluruh ilmu non agama termasuk dalam ayat ini melainkan ilmu-ilmu atau penemuan berupa teknologi yang membuat musuh-musuh islam takut, Allahu A’lam.



Adapun ilmu yang selain ilmu agama dan ilmu non agama dalam keadaan demikian maka hukumnya tergantung tujuannya, apabila tujuannya/niatnya untuk kebaikan maka baik akan tetapi jika tujuannya keburukan maka buruk. Demikian juga jika tujuannya semata-mata tujuan rendahan semisal untuk meraih dunia semata maka rendah juga, karena ia merupakan perkara yang hukum asalnya mubah.

Kesimpulan



Ilmu yang Allah ‘azza wa jalla puji dalam Al Qur’an dan melalui lisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam mutlak kabaikan bagi pelakunya adalah ilmu agama. Allahu a’lam bish showab.

Al Faqir Ilaa Maghfiroti Robbihi

Aditya Budiman As Sijambaliy

[1] HR. Abu Dawud no. 223, Tirmidzi no. 2682. Dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[2] Kami gunakan lafadz semua karena dalam hadits ini terdapat isim nakiroh dalam konteks syarat.

[3] HR. Bukhoriy no. 71, Muslim no. 2436.

[4] Dan telah ma’ruf di kalangan ulama bahwa para ulama hadits tidaklah meletakkan suatu bab/kitab dalam tulisan mereka melainkan ada hal yang melatrbelakangi hal tersebut. Salah satunya adalah pentingnya hal tersebut.

[6] HR. Muslim no. 6277.

[7] Lihat Kitabul ‘Ilmi oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah penyunting Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrohim As Sulaiman, hal. 14, terbitan Dar Tsuroya, Riyadh, KSA.

[8] Lihat Tafsir Jalalain Li Imamaini Al Jalilaini Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi dengan ta’liq dari Syaikh Shofiyurrohman Al Mubarokfuri hafidzahullah hal. 193 Terbitan Darus Salam, Riyadh, KSA

[9] Idem.

[10]Lihat Kitabul ‘Ilmi oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah penyunting Syaikh Fahd bin Nashir bin Ibrohim As Sulaiman, hal. 14.

[11] Lihat Taisir Karimir Rohman oleh Syaikh Abdur Rohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 302, penyunting Syaikh Abdur Rohman bin Mu’alla Al Waahiq, terbitan Dar Ibnu Hazm, Beirut, Lebanon.



Wallohu A'lam.